Genjot Hilirisasi Mineral Tambang, Kadin Dorong Pengembangan Industri Logam Dasar

By Admin

nusakini.com--Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendorong adanya konsistensi keberpihakan kebijakan untuk membangun hilirisasi mineral tambang dan pengembangan industri logam dasar. Hal ini sejalan dengan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035 yang disahkan melalui Peraturan Pemerintah RI No. 14/2015. 

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian, Johnny Darmawan menilai RIPIN telah mengamanatkan hilirisasi mineral tambang dengan percepatan pembangunan smelter, maka proses industrialisasi Indonesia akan selangkah lebih maju. 

  “Implementasi RIPIN tentunya harus ada dukungan semua pihak, Misalnya Masalah sarana infrastruktur dan pasokan listrik yang belum memadai masih menjadi salah satu kendala utama dalam pembangunan smelter, maka perlu dukungan dan keberpihakan pemerintah,” ungkap Johnny belum lama ini.

Menurut dia, suksesnya hilirisasi mineral tambang harus ditandai dengan terserapnya produk smelter dalam negeri oleh industri hilir berbasis mineral logam seperti industri logam dasar. “Tanpa adanya industri manufaktur berbasis mineral logam, maka hilirisasi mineral tambang tetap tidak akan memberikan nilai tambah yang lebih tinggi”. 

Lebih jauh, Johnny menjelaskan, saat ini pertumbuhan industri logam masih terhambat oleh biaya produksi dan bahan baku yang masih harus diimpor. Biaya produksi industri logam dasar mengalami kendala berupa harga gas alam di Indonesia yang tinggi, mencapai US$ 9,5 per MMBTU. Harga tersebut masih lebih mahal dibanding di Jepang dan Rusia yang hanya US$ 6,3 per MMBTU. Begitu pula bila dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN. 

“Ada hambatan lainnya, industri logam dasar itu awal dari progam hilirisasi yang berbasis mineral logam, dan hingga kini belum diatur lebih lanjut sektor yang berwenang membuat regulasi,” ungkap Johnny. 

Peran Pemerintah melalui BUMN, lanjut dia, juga masih kurang dalam Pembangunan Industri berbasis mineral logam. “BUMN perlu bersatu dan hadir secara khusus untuk membangun industri logam dasar dan industri hilirnya”. 

Meski demikian, lanjut Johnny, di balik hambatan yang ada pihaknya menilai Indonesia memiliki peluang yang sangat potensial untuk mengembangkan hilirisasi, misalnya Industri baja sebagai salah satu komponen utama dari industri logam dasar yang diperkirakan masih akan terus tumbuh dengan rata-rata 6 % per tahun sampai tahun 2025. Hal ini karena tingginya permintaan bahan baku untuk sektor konstruksi yang tumbuh 8,5 %, sektor otomotif tumbuh 9,5%. Diperkirakan Indonesia masih harus mengimpor sebanyak 5,4 juta ton untuk memenuhi kebu­tuhan yang mencapai 12,94 juta ton per tahun.  

Johnny memaparkan beberapa poin rekomendasi kebijakan strategis untuk pengembangan industri logam dasar dan mineral logam, antara lain pertama, adanya kepastian dan keberpihakan Pemerintah dalam menjamin ketersediaan bahan baku dan pasokan energi. “Pemerintah dapat memberikan insentif bagi perusahaan yang serius dan konsisten melaksanakan hilirisasi dan pembangunan industri logam dasar melalui harga energi yang berdaya saing dan dukungan infrastruktur,” kata dia. 

Kedua, konsisten dan konsekuen terhadap kebijakan dan fokus pada pendalaman struktur industri logam dasar. Pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara diharapkan dapat mendorong pengembangan industri logam dasar di dalam negeri. “Jika dilakukan secara konsisten, proses industrialisasi kita akan jauh lebih matang sehingga memberikan efek pengganda atau multiplier effect yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi,” kata Johnny. 

Ketiga, adanya keberpihakan dari pemerintah dalam mendukung pengembangan TKDN dan pemanfaatan/memakai dalam negeri. “Penggunaan produk logam lokal harus dijalankan, terutama terhadap proyek-proyek yang dibiayai oleh APBN seperti proyek infrastruktur, otomotif, perkapalan, konstruksi dan komponen”. 

Keempat, adanya keberpihakan dari Pemerintah dalam mendukung upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) berdasarkan kebutuhan industri logam dasar. (p/ab)